Akhir tahun 2012 lalu, saya berkesempatan menginjakkan kaki di daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia di Pulau Kalimantan, tepatnya di Kabupaten Malinau yang merupakan kabupaten terluas di Kalimantan Timur. Luas wilayah Kabupaten Malinau sebesar 42.620,70 km2 dengan persentase 17,38 persen dari luas wilayah Kalimantan Timur. Untuk sampai ke Malinau, saya naik pesawat komersial Lion Air dari Jakarta ke Tarakan, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan pesawat “Cessna B208 Grand Caravan” Susi Air yang hanya bepenumpang 8 orang dari Tarakan ke Malinau selama 30 menit.
Tidak banyak yang bisa dilihat dari Kabupaten Malinau, hanya toko-toko kecil yang tidak terlalu ramai. Tetapi gedung-gedung pemerintahan yang seperti layaknya istana boleh dibanggakan oleh kabupaten ini. Gedung-gedung pemerintahannya megah dengan taman yang luas ditambah fasilitas olah raga seperti stadion dan gelanggang olah raga. Dan saya merasa sedikit aneh melihat kota dengan penduduk tak terlalu banyak seperti ini.
Saat itu, tujuan saya ke Malinau adalah untuk urusan pekerjaan, yaitu Site Investigation Survey Telkomsel atau perluasan jaringan telekomunikasi di wilayah perbatasan. Di Malinau, saya berburu tiket pesawat Susi Air Malinau ke Long Ampung. Memang cukup sulit mendapatkan transportasi ke daerah “long”, selain belum adanya transportasi di darat, transportasi udara pun hanya seminggu sekali. Setelah beberapa hari menunggu dan meminta bantuan pegawai Dinas Perhubungan setempat, akhirnya saya mendapatkan tiket ke Long Ampung.
Di pagi hari itu, saya sudah berada di Bandara RA. Besing Malinau. Saya sedikit gundah ketika melihat pesawat yang akan saya tumpangi adalah pesawat yang berukuran lebih kecil dari pesawat “Cessna B208 Grand Caravan” yang saya tumpangi sebelumnya. Sepanjang perjalanan, pemandangan hamparan hutan hijau masih begitu mempesona di Malinau ini, hanya beberapa yang cacat karena pertambangan. Pesawat yang saya tumpangi kali ini adalah pesawat type “Pilatus”, nama lengkapnya adalah “Pilatus Porter” yang berdaya angkut 600 kg atau 6 orang. Unik, karena tidak ada pembatas antara kabin pilot dengan kabin penumpang sehingga saya tahu betul percakapan pilot dan co-pilot asal Selandia Baru tersebut. Pesawat ini bisa mendarat di landasan pendek sehingga bisa melayani di semua landasan yang ada di Malinau.
Saat itu, tujuan saya ke Malinau adalah untuk urusan pekerjaan, yaitu Site Investigation Survey Telkomsel atau perluasan jaringan telekomunikasi di wilayah perbatasan. Di Malinau, saya berburu tiket pesawat Susi Air Malinau ke Long Ampung. Memang cukup sulit mendapatkan transportasi ke daerah “long”, selain belum adanya transportasi di darat, transportasi udara pun hanya seminggu sekali. Setelah beberapa hari menunggu dan meminta bantuan pegawai Dinas Perhubungan setempat, akhirnya saya mendapatkan tiket ke Long Ampung.
Di pagi hari itu, saya sudah berada di Bandara RA. Besing Malinau. Saya sedikit gundah ketika melihat pesawat yang akan saya tumpangi adalah pesawat yang berukuran lebih kecil dari pesawat “Cessna B208 Grand Caravan” yang saya tumpangi sebelumnya. Sepanjang perjalanan, pemandangan hamparan hutan hijau masih begitu mempesona di Malinau ini, hanya beberapa yang cacat karena pertambangan. Pesawat yang saya tumpangi kali ini adalah pesawat type “Pilatus”, nama lengkapnya adalah “Pilatus Porter” yang berdaya angkut 600 kg atau 6 orang. Unik, karena tidak ada pembatas antara kabin pilot dengan kabin penumpang sehingga saya tahu betul percakapan pilot dan co-pilot asal Selandia Baru tersebut. Pesawat ini bisa mendarat di landasan pendek sehingga bisa melayani di semua landasan yang ada di Malinau.
Pesawat Pilatus Porter |
Pilatus Porter bergulat di angkasa selama hampir 60 menit sebelum akhirnya besiap untuk mendarat di Bandara Long Ampung. Long Ampung sendiri merupakan sebuah tempat yang menurut saya begitu ajaib. Jangankan bandara, landasan pesawatnya pun hanya memiliki panjang 840 meter dan lebar 23 meter dengan konstruksi aspal kolakan, sehingga bisa dirasakan betul goyangan pesawat waktu itu. Lebih ajaib lagi adalah kantor bandara ini seperti layaknya sebuah gudang. Selanjutnya saya naik ojek motor ke Kantor Desa Long Ampung selama 10 menit. Ojek motor ini seharga Rp 100.000,00 sekali jalan, bukan karena jauh, tetapi karena susahnya mendapatkan bahan bakar. Tidak adanya SPBU membuat bensin dijual ilegal oleh masyarakat dengan harga Rp 18.000,00 per botol minuman ukuran sedang, sekitar 600 cc.
Bandara Long Ampung |
Sesampainya di Kantor Desa Long Ampung yang terkunci rapat, saya akhirnya menuju pos polisi perbatasan. Beruntung di perjalanan tadi saya bertemu seorang polisi perbatasan. Dia bercerita panjang tentang beratnya bertugas di perbatasan dan juga tentang fakta bahwa di sekitar desa tersebut beroperasi perusahaan batubara. Bahkan pemerintah berencana membangun kota mandiri di sana. Miris, ketiadaan listrik, air bersih, dan akses di darat membuat pos polisi penjaga perbatasan itu hanya dilengkapi radio komunikasi yang sudah tidak berfungsi. Mungkin pos itu lebih cocok disebut gudang, karena tempat tidur, toilet, dan dapur pun sanggat tidak layak.
Pos Yon Zipur |
Pos Polisi Perbatasan |
Akses darat menuju Malaysia yang hanya membutuhkan waktu ±90 menit, bandingkan dengan akses ke kota terdekat di wilayah Indonesia yang tidak terdapat akses darat sama sekali dan akses udara yang mahal. Hal ini membuat masyarakat membeli sebagian besar kebutuhan pokok di negeri tetangga tersebut, bahkan tak jarang jual beli di Long Ampung menggunakan mata uang ringgit. Berharap ada barang kebutuhan “made in” Indonesia adalah hal yang jauh dari harapan. Dari dulu justru bahan-bahan kebutuhan pokok itu lebih mudah didapatkan dari produk Malaysia. Walaupun harganya lebih mahal, untuk mendapatkannya pun mereka tidak terlalu susah. Keresahan masyarakat tiba ketika terjadi ketegangan antar kedua negara, diceritakan ketika itu akses darat menuju Malaysia sengaja diputus oleh pemerintah Malaysia sehingga perekonomian di Long Ampung ini hampir lumpuh.
Gas Elpiji Produk Malaysia |
“Aku tetap Indonesia”, begitulah penggalan kalimat dari seorang masyarakat ketika saya singgung tentang nasionalisme. Saya sedih melihat hal seperti ini harus terjadi di Indonesia terutama di daerah perbatasan yang notabene adalah ujung tombak penjaga tanah air. Tak sedikit kebun kebun sawit masyarakat di sana sudah dijual ke Malaysia, bahkan jaringan telekomunikasi Malaysia yang sering masuk ke wilayah Indonesia membuat pengetahuan warga negara Indonesia di perbatasan lebih dominan tentang informasi Malaysia. Pernah suatu kali saya bertanya, “Siapa presiden Indonesia?”, ada yang menjawab “Tuanku Abdul Razak”, padahal itu adalah Perdana Menteri Malaysia yang lama. Apakah kesadaran mereka tentang menjaga tanah air ini besar? Saya tak tahu itu. Namun jika kesadaran mereka akan tanah air ini kecil, jangan salahkan mereka.
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, begitulah penggalan Sumpah Pemuda. Dan apalah arti sumpah pemuda tersebut, sementara ada sebagian warganya yang kebetulan berada di perbatasan, tapi karena merasa tidak diperhatikan kesejahteraannya oleh pemerintah dengan sangat terpaksa tidak merasakan kebanggaannya sebagai Bangsa Indonesia.
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, begitulah penggalan Sumpah Pemuda. Dan apalah arti sumpah pemuda tersebut, sementara ada sebagian warganya yang kebetulan berada di perbatasan, tapi karena merasa tidak diperhatikan kesejahteraannya oleh pemerintah dengan sangat terpaksa tidak merasakan kebanggaannya sebagai Bangsa Indonesia.
Tulisan dan Foto oleh Muhammad Amien
Jangankan disana yang nun jauh. Di pedesaan npulau jawa juga msh banyak yg memprihatinkan. Logika saya sih akibat luasnya lahan yg diurus oleh Presiden Indonesia. Kalau boleh dikontrakin lumayan kali.
BalasHapus