Kamis, 02 Oktober 2014

Kutanam Selasih untuk Pulang

Malam ini aku melihat kecarutan di televisi, semua terasa suram melihat tingkah polah wakil rakyat. Aku bukan mau menulis tentang kondisi negeri atau kondisi Senayan, terlalu besar dan aku terlalu kecil untuk menuliskan yang sebenarnya bisa aku tuliskan, toh hanya hujatan dan olok-olok kurang lebihnya untuk menuliskan tentang itu.

Rasanya malam ini aku sangat bersahabat dengan secangkir teh kental dengan gula batu bekal ibuku waktu pulang bulan lalu. Atau hamparan kapitalisme didepan mataku, beton-beton menjulang sementara bergeser sedikit kekiri hanya tampak atap-atap seng atau tempat pemakaman umum, miris memang.

Dan lalu...
Air mata tak mungkin lagi kini
Bicara tentang rasa
Bawa aku pulang, rindu!
Segera!
Jelajahi waktu
Ke tempat berteduh hati kala biru

(Float - Pulang)

Sepenggalan lagu itu saat ini akrab di telingaku yang kadang tidak bisa kompromi dengan beberapa struk kalimat dalam kalimat yang mengambarkan cita-cita masa kelak.

Menjadi seseorang adalah hal sangat dilematis untukku. Pastinya ini termasuk masalah eksistensialisme diri yang tak kunjung tergarap jua. Aku memang masih dalam masa gemilang, mendapat gelar Sarjana di usia 22 tahun 3 bulan adalah sedikit prestasi bagiku, walaupun menempuhnya butuh tambahan waktu satu tahun. Tidak menerima uang dari orang tua sejak menginjak semester 8 juga bisa aku banggakan, apalagi. Tidak bergantung gaji bulanan, memiliki sejumlah rekan kerja, kebutuhan untuk tidak panas dan hujan juga sudah aku dapatkan.

Terakir ini aku hanya merasa mungkin untuk memenuhi beberapa mimpiku lagi, memiliki rumah pangung dan halaman untuk anak-anakku bermain dengan tanaman yang mereka tanam atau melihat mereka membersihkan motor klasik bermesin 400cc atau 750cc tentu jauh dari hiruk pikuk kapitalisme. Selanjutnya adalah melanjutkan sekolah di negara dengan empat musim.

Rumah di daerah berkontur adalah tempat yang kuimpikan sejak aku ditunjukan sebuah potret rumah berkontur di Bali, aku dibesarkan diantara rumah-rumah joglo di sebuah kampung di Jawa, diantara sosial masyarakat yang sangat tinggi. Peristiwa ini membawa banyak dampak kerinduan untuk memiliki tempat pulang yang sesungguhnya.

Mimpiku tentang Eropa mungkin yang paling sulit diwujudkan, selain tidak begitu pandai bebahasa asing aku juga tipe orang yang susah diatur “ I’m like a boss”, atau barangkali nanti aku tetap pergi kesana untuk mengunjungi beberapa kawan yang kini bermukim disana.
Mungkin banyak yang pertanya kenapa aku tidak menuliskan tentang mimpi membahagiakan atau berbakti kepada orang tua. Bagiku membahagiakan orang tua bukanlah impian, tapi kewajiban yang harus dilakukan apapun kondisinya.

Tentang kehidupan yang belakangan terasa cukup berat, kadang membuat mental tentang impian-impianku tersebut sedikit goyah, tetapi bagiku impian tetaplah harus ditanam dipuncak harapan. Aku hanya yakin pada diri sendiri, bahwa keinginanku hanya terus-menerus berlayar meniti karir dan dapat memberi penghidupan bagi orang-orang disekitarku adalah salah satu jalan untuk pulang.


Jakarta, 2 Oktober 2014