Dalam sebuah
kabut yang dingin, kaki-kaki yang kotor dan gemetar itu masih mencoba untuk
berdiri, menopang berat tubuhnya yang semakin limbung. Kadang, hembusan angin
tak bisa ia lawan lagi dengan lebih kuat, tubuhnya menggigil, menandakan kalau
ia sendiri sudah tak kuat menahan tantangan alam yang memang ganas.
Cuaca di pagi
itu memang menggigit, suhu mungkin lebih rendah dari daya tahan tubuh biasanya.
Hujan yang deras mendera, menambah beban penderitaan pada tubuh-tubuh ringkih
yang mencoba berkelana itu. Mencoba melawan mekenisme alam dalam menghidupi
dirinya.
Sayangnya, ia
orang kota. Mereka orang-orang kebanyakan, yang sama sekali belum pernah
bersinggungan dengan ganasnya hujan badai. Yang mereka miliki mungkin hanya
tinggal niat, nalar yang kadang membantu mereka sudah lama mendekam, terhapus
oleh keletihan dan derita.
Siswa PDA XIX |
“Namaku R****.
Rumah saya di Tangerang…” bibirnya mengucapkan kata-kata itu dengan bergetar,
terlihat jelas bahwa ia sudah jauh dari kesadarannya sendiri. Matanya setengah
mengatup, dilain saat yang tidak terlalu lama, kantuknya menelan sisa-sisa
kesadarn itu. Kalau tidak saya bentak, mungkin ia akan segera jatuh.
“Saya masih
kuat kak, saya masih semangat…” lanjutnya mencoba meyakinkan saya.
“Aku tidak
butuh kata-kata dari mulutmu, tunjukkan kalau kau masih kuat, mana semangat
yang kau sebut itu” tandasku menantangnya. Ia mencoba menguatkan diri,
barangkali bukan untuk meyakinkanku, tapi untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Bajunya yang basah kuyup menambah derita sengsaranya, tubuhnya yang mencoba
melawan dingin, sama sekali tak sanggup. Ia memang sudah tak kuat.
“Ijinkan saya
push up Kak, biar badan saya lebih hangat” pintanya. Lalu tanpa menunggu
ijinku, ia langsung mengambil posisi untuk push up. Tiga kali kata itu
kemudihan membahana, ASTACALA….ASTACALA…ASTACALA. Mencoba memecah keheningan
dini hari yang beranjak menuju pagi.
“Kenapa kau mau
masuk Astacala?” tanyaku mencoba menyibak semangatnya lagi.
“Karena saya
suka adventure kak, saya suka berpetualang” jawabnya.
“Kalau begitu,
kau salah alamat, kau salah tempat. Di Astacala bukan tempat untuk itu,
Astacala bukan kumpulan orang-orang yang suka jalan-jalan, bukan juga kumpulan
orang-orang yang memiliki jiwa berpetualang seperti anggapanmu”. Iya
terbengong-bengong mendengar jawabn saya yang mungkin tak ia duga.
“Lepas
ponco-mu, kemasi barang-barangmu, ganti pakaian basahmu itu, dan berteduhlah di
camp panitia. Tak usah lanjutkan niatmu. Engkau tak patut masuk Astacala, ia
bukan tempat seperti keinginanmu itu” bentakku, menggertaknya. Ia terdiam,
mungkin memang karena sudah tak mendengar kata-kata itu.
“Lepas! Lepas ponco-mu”
teriakku lebih keras.
“Tidak kak,
saya tidak mau mundur. Saya masih kuat. Saya masih semangat” kembali kata-kata
itu meluncur dari mulutnya, matanya kulihat sudah menunjukkan kekhawatiran.
Saya terus
memaksanya untuk seger mengundurkan diri, seraya membeberkan, bahwa Astacala
adalah organisasi pecinta alam, bukan organisasi petualang. Ada yang mesti
dipahami dari awal, yakni tentang kecintaan pada alam itu, agar kelak kemudian
bukan menjadi perusak alam.
“Jadi jika
keinginanmu masih seperti itu, Astacala bukan tempat yang tepat. Luruskan lagi
niatmu!” pintaku
“Kau tau,
kenapa pendas ini diadakan, kau tau kenapa pendidikan dasar ini kami buat keras
seperti ini?”
“Tidak Kak..”
“Sebab menjadi
pecinta alam itu bukan perkara yang mudah, sebab mencintai alam itu membutuhkan
kerja keras, semangat dan niat yang terus membara”
Ia tertunduk.
Lebih lesu dari saat awal ia berada di hadapanku. Ia kemudian kupersilahkan
untuk kembali kepada teman-temannya, dengan berharap, sangat berharap, apa yang
kukatakan akan melekat di hatinya. Dan itu menyebar kepada saudara-saudara
seangkatannya.
Sehari kemudian
berlalu, ku tahu, mereka memberikan nama angkatan bagi mereka “Angin Puncak”.
Selamat Datang! ASTACALA.
Tulisan
oleh Jimi Piter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar