Rabu, 02 Januari 2013

UNTUK ANGIN PUNCAK

Dalam sebuah kabut yang dingin, kaki-kaki yang kotor dan gemetar itu masih mencoba untuk berdiri, menopang berat tubuhnya yang semakin limbung. Kadang, hembusan angin tak bisa ia lawan lagi dengan lebih kuat, tubuhnya menggigil, menandakan kalau ia sendiri sudah tak kuat menahan tantangan alam yang memang ganas.

Cuaca di pagi itu memang menggigit, suhu mungkin lebih rendah dari daya tahan tubuh biasanya. Hujan yang deras mendera, menambah beban penderitaan pada tubuh-tubuh ringkih yang mencoba berkelana itu. Mencoba melawan mekenisme alam dalam menghidupi dirinya.
Sayangnya, ia orang kota. Mereka orang-orang kebanyakan, yang sama sekali belum pernah bersinggungan dengan ganasnya hujan badai. Yang mereka miliki mungkin hanya tinggal niat, nalar yang kadang membantu mereka sudah lama mendekam, terhapus oleh keletihan dan derita.
Siswa PDA XIX

“Namaku R****. Rumah saya di Tangerang…” bibirnya mengucapkan kata-kata itu dengan bergetar, terlihat jelas bahwa ia sudah jauh dari kesadarannya sendiri. Matanya setengah mengatup, dilain saat yang tidak terlalu lama, kantuknya menelan sisa-sisa kesadarn itu. Kalau tidak saya bentak, mungkin ia akan segera jatuh.

“Saya masih kuat kak, saya masih semangat…” lanjutnya mencoba meyakinkan saya.
“Aku tidak butuh kata-kata dari mulutmu, tunjukkan kalau kau masih kuat, mana semangat yang kau sebut itu” tandasku menantangnya. Ia mencoba menguatkan diri, barangkali bukan untuk meyakinkanku, tapi untuk meyakinkan dirinya sendiri. Bajunya yang basah kuyup menambah derita sengsaranya, tubuhnya yang mencoba melawan dingin, sama sekali tak sanggup. Ia memang sudah tak kuat.

“Ijinkan saya push up Kak, biar badan saya lebih hangat” pintanya. Lalu tanpa menunggu ijinku, ia langsung mengambil posisi untuk push up. Tiga kali kata itu kemudihan membahana, ASTACALA….ASTACALA…ASTACALA. Mencoba memecah keheningan dini hari yang beranjak menuju pagi.

“Kenapa kau mau masuk Astacala?” tanyaku mencoba menyibak semangatnya lagi.

“Karena saya suka adventure kak, saya suka berpetualang” jawabnya.

“Kalau begitu, kau salah alamat, kau salah tempat. Di Astacala bukan tempat untuk itu, Astacala bukan kumpulan orang-orang yang suka jalan-jalan, bukan juga kumpulan orang-orang yang memiliki jiwa berpetualang seperti anggapanmu”. Iya terbengong-bengong mendengar jawabn saya yang mungkin tak ia duga.

“Lepas ponco-mu, kemasi barang-barangmu, ganti pakaian basahmu itu, dan berteduhlah di camp panitia. Tak usah lanjutkan niatmu. Engkau tak patut masuk Astacala, ia bukan tempat seperti keinginanmu itu” bentakku, menggertaknya. Ia terdiam, mungkin memang karena sudah tak mendengar kata-kata itu.

“Lepas! Lepas ponco-mu” teriakku lebih keras.

“Tidak kak, saya tidak mau mundur. Saya masih kuat. Saya masih semangat” kembali kata-kata itu meluncur dari mulutnya, matanya kulihat sudah menunjukkan kekhawatiran.

Saya terus memaksanya untuk seger mengundurkan diri, seraya membeberkan, bahwa Astacala adalah organisasi pecinta alam, bukan organisasi petualang. Ada yang mesti dipahami dari awal, yakni tentang kecintaan pada alam itu, agar kelak kemudian bukan menjadi perusak alam.

“Jadi jika keinginanmu masih seperti itu, Astacala bukan tempat yang tepat. Luruskan lagi niatmu!” pintaku
“Kau tau, kenapa pendas ini diadakan, kau tau kenapa pendidikan dasar ini kami buat keras seperti ini?”
“Tidak Kak..”
“Sebab menjadi pecinta alam itu bukan perkara yang mudah, sebab mencintai alam itu membutuhkan kerja keras, semangat dan niat yang terus membara”
Ia tertunduk. Lebih lesu dari saat awal ia berada di hadapanku. Ia kemudian kupersilahkan untuk kembali kepada teman-temannya, dengan berharap, sangat berharap, apa yang kukatakan akan melekat di hatinya. Dan itu menyebar kepada saudara-saudara seangkatannya.

Sehari kemudian berlalu, ku tahu, mereka memberikan nama angkatan bagi mereka “Angin Puncak”. Selamat Datang! ASTACALA.

Tulisan oleh Jimi Piter

Tidak ada komentar:

Posting Komentar